BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra pada dasarnya merupakan ungkapan penulis
terhadap keadaan dan pengalaman hidup yang menggunakan media bahasa sebagai
perantara atau pengungkapan ekspresi. Oleh sebab itu, karya sastra pada
umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi dalam kehidupan manusia.
Kemunculan sastra lahir dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk
mengungkapkan eksistensi dirinya.
Karya sastra yang perkembangannya sangat pesat yaitu
puisi. Bahkan sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia sebenarnya telah
bersastra yaitu dengan mantra, doa-doa untuk dewa atau nenek moyang. Hal ini menunjukkan bahwa
peran puisi dalam kehidupan merupakan sesuatu yang dominan dalam menunjukkan jati
diri hidup.
Jika melihat hakikat dari puisi yaitu salah satu bentuk karya sastra yang diungkapkan dengan menggunakan
bahasa yang padat,
mendobrak dan penuh dengan makna. Puisi dibentuk oleh kata-kata yang benar-benar terpilih,
terseleksi dan melalui proses yang ketat. Puisi merupakan hasil ungkapan
perasaan penyair yang dituangkan melalui kata-kata atau bahasa yang sengaja
dipilih penyair untuk mewakili perasaannya. Dalam pengertian ini,
maka makna dalam puisi
menyatakan sesuatu secara tak langsung, yaitu mengatakan sesuatu hal dengan
arti yang lain atau
makna dibalik susunan kata-kata dan tipografinya.
Sebagai salah satu jenis sastra, puisi
merupakan pernyataan sastra yang paling utama. Segala unsur sastra mengental
dalam puisi. Puisi mengandung karya estetis yang bermakna, mengekspresikan
pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang panca indra dalam susunan
yang berirama. Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang
diubah dalam wujud yang paling berkesan.
Melalui puisi kita dapat merasakan tawa, tangis, senyum, berfikir, merenung, terharu bahkan emosi dan marah.
Sampai saat ini, puisi selalu mengikat hati dan digemari oleh semua lapisan
masyarakat karena keindahan dan keunikannya. Oleh karena kemajuan masyarakat
dari masa kemasa selalu meningkat, maka corak, sifat dan bentuk puisi selalu
berubah, mengikuti perkembangan konsep estetika yang selalu berubah dan
kemajuan intelektual yang selalu meningkat.
Kondisi pengajaran
sastra di sekolah saat ini sangat memprihatinkan, pengajaran sastra termasuk
puisi hanya dipandang sebagai mata pelajaran yang monoton. Hal ini dikarenakan
daya apresiasi sastra hanya menekankan pada aspek afektif yang berkutat dengan
rasa, nurani, nilai-nilai dan seterusnya. Selain itu, kesulitan dalam memaknai
sebuah karya sastra, juga menjadi masalah yang dominan. Tentunya dibutuhkan
sebuah cara atau teknik yang baru dalam mengajarkan puisi atau sastra. Melalui
makalah ini, kami mencoba untuk membahas tentang hakikat puisi dan beberapa
cara atau teknik dalam pengajaran puisi.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini, yaitu:
1. Apakah
hakikat puisi?
2. Apa
sajakah jenis-jenis puisi?
3. Bagaimanakan cara memaknai puisi?
4. Bagaimanakah
pengajaran puisi?
C.
Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dengan adanya makalah
ini, yakni:
1. Mengetahui
hakikat puisi.
2. Mengetahui
jenis-jenis puisi.
3. Mengetahui cara memaknai puisi.
4. Mengetahui
pengajaran puisi.
D. Manfaat
1.
Kehadiran makalah ini
diharapkan dapat menjadi referensi dalam pembelajaran sastra khususnya
pengetahuan tentang puisi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Puisi
1. Pengertian Puisi
Kata puisi berasal dari bahasa
Yunani yaitu Poeima yang berarti
membuat, Poeisis yang berarti
pembuatan. Dalam bahasa Inggis disebut Poem
atau Poetry. Puisi diartikan membuat
dan pembuatan karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu
dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu,
baik fisik maupun batiniah (Aminuddin
(2011: 134).
Menurut
Hudson (dalam Aminuddin, 2011: 134), puisi adalah salah satu cabang sastra yang
menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan
imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam
menggambarkan gagasan pelukisnya. Ketika kita membaca suatu puisi sering kali
kita merasakan ilusi tentang keindahan, terbawa dalam suatu angan-angan,
sejalan dengan keindahan penataan unsur bunyi, penciptaan gagasan, maupun
suasana-suasana tertentu.
Slametmuljana
(dalam Waluyo, 1995: 23), menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk kesusastraan
yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya. Pengulangan kata itu
menghasilkan rima, ritma, dan musikalitas. Batasan yang diberikan Slametmuljana
tersebut berkaitan dengan struktur fisik saja. Sedangkan James Reeves,
menyatakan bahwa puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh daya pikat.
Menurut Waluyo (1995: 25), puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan
pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan
mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur
fisik dan struktur batinnya.
Coleridge
(dalam Pradopo, 2010: 6), mengemukakan bahwa puisi itu adalah kata-kata yang
terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan
disusun secara sebaik-baiknya. Sedangkan menurut Carlyle, puisi merupakan
pemikiran yang bersifat musikal. Penyair dalam menciptakan puisi memikirkan
bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya. Pendapat lain dikemukakan oleh
Shelley, mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah
dalam hidup kita. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan
menimbulkan keharuan yang kuat, seperti kebahagiaan, percintaan, bahkan
kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai.
Menurut
Pradopo (2010: 7), puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan
perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama.
Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan,
dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan.
Dari beberapa definisi yang
telah dikemukakan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa puisi adalah ungkapan hati penyair dari keseluruhan
pengalaman hidup yang menggunakan
bahasa yang khas dalam penyajiannya. Puisi lahir dari perenungan
mendalam dengan menggunakan kolaborasi antara pikiran dan perasaan sehingga
menghasilkan karya yang sarat makna.
2. Unsur Pembentuk Puisi
Menurut
Waluyo (1995: 71), hakikat puisi disebut struktur batin sedangkan metode puisi
disebut struktur fisik. Adapun wujud konkret hakikat puisi adalah pernyataan
batin penyair, sedangkan metode adalah struktur pembangun bentuk kebahasaan
puisi.
a)
Struktur
Fisik Puisi
Unsur-unsur
bentuk atau struktur fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni
unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur fisik puisi
meliputi: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas),
verifikasi dan tata wajah puisi (tipografi). Berikut akan diuraikan unsur-unsur
fisik puisi.
1)
Diksi (Pilihan
Kata)
Penyair
sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus
dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata
itu di tengah konteks kata lainnya dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi.
Oleh sebab itu, disamping memilih kata yang tepat, penyair juga mempertimbangkan
urutan katanya dan kekuatan kata-kata tersebut. Hendaknya disadari bahwa
kata-kata dalam puisi bersifat konotatif artinya memiliki kemungkinan makna
yang lebih dari satu.
2)
Pengimajian
Ada
hubugan erat antara diksi, pengimajian dan kata konkret. Diksi yang terpilih
harus menghasilkan pengimajian yang dapat dihayati melalui penglihatan,
pendengaran, atau cita rasa. Pengimajian dapat dibatasi dengan kata atau
susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Puisi seolah-olah mengandung gema
suara, benda yang tampak, atau sesuatu yang dapat dirasakan, diraba, atau
disentuh. Oleh karena itu, pengimajian berhubungan erat dengan diksi dan kata
konkret.
Menurut
Effendi (dalam Waluyo, 1995: 80), pengimajian dalam puisi dapat dijelaskan
sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau menggugah timbulnya imaji dalam
diri pembacanya, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan mata hati untuk
melihat benda-benda, warna, dengan telinga hati mendengar bunyi-bunyian dan
dengan perasaan hati kita menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna.
Menurut
Situmorang (dalam Sugihastuti, 2009: 43), membagi imajinasi menjadi
delapan yaitu: Pertama, imajinasi
visual yaitu imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah melihat. Kedua, imajinasi auditory yaitu
imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah mendengar. Ketiga, imajinasi articulatory yaitu imajinasi yang menyebabkan
pembaca mendengarkan bunyi-bunyian dengan artikulasi tertentu pada bagian
mulut. Empat, imajinasi olfaktory
yaitu imajinasi penciuman atau pembauan. Lima,
imajinasi gustatory yaitu imajinasi pencicipan, pembaca seolah-olah mencicipi
sesuatu. Enam, imajinasi tactual
yaitu imajinasi rasa kulit atau pembaca seolah-olah mengalami sesuatu di kulit.
Tujuh, imajinasi kinastetik yaitu
imajinasi gerakan tubuh atau otot yang menyebabkan kita merasakan atau melihat
otot-otot tubuh. Delapan, imajinasi
organik yaitu imajinasi badan yang menyebabkan kita merasakan atau melihat
badan lesu, loyo, lemas dan sebagainya.
3)
Kata
Konkret
Kata konkret ialah kata-kata
yang dapat dilukiskan dengan tepat, membayangkan dengan jitu akan apa yang
hendak dikemukakan oleh penyair. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata,
maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar atau merasakan apa yang dilukiskan
oleh penyair. Dengan demikian pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam
puisinya. Jika imaji pembaca merupakan akibat dari pengimajian yang diciptakan
penyair, maka kata konkret ini merupakan syarat atau sebab terjadinya
pengimajian itu. Dengan kata yang diperkonkret, pembaca dapat membayangkan
secara jelas peristiwa atau kejadian yang dilukiskan oleh penyair.
4)
Bahasa
Figuratif (Majas)
Menurut
Waluyo (1995: 83), bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk
menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung
mengungkapkan makna. Pendapat lain dikemukakan oleh Pradopo (2010: 62), adanya
bahasa kiasan ini menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan
kesegaran, hidup dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa
kiasan ini mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya
gambaran menjadi jelas, lebih menarik dan hidup. Bahasa kiasan atau majas
dibagi menjadi tujuh yaitu: perbandingan, metafora, perumpamaan epos,
personifikasi, metonimi, sinekdoki dan alegori.
Fungsi dan kedudukan gaya bahasa atau majas
dikemukakan oleh Ratna (2013: 58), puisi merupakan struktur gaya bahasa karena
dalam puisi tidak menampilkan cerita, puisi hanya melukiskan tema, irama, rima
dan gaya bahasa yang melekat. Oleh karena itu, gaya bahasa menjadikan puisi
lebih segar, menarik dan mempunyai kedalaman makna. Hal inilah yang menjadikan
pembeda antara puisi dengan ilmu pengetahuan sebagai manifestasi pikiran yang
harus dikemukakan secara jelas.
5)
Versifikasi
Dalam puisi terdapat bunyi
yang disebut rima dan ritma. Rima adalah pengulangan bunyi di dalam baris atau
larik puisi, pada akhir baris puisi atau pada keseluruhan baris atau bait
puisi.
Menurut
Waluyo, ritma adalah pengulangan
bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi dengan adanya
pengulangan bunyi, penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi puisi akan
semakin merdu dan indah jika dibaca. Selanjutnya Slamet Mulyana, menyatakan
bahwa ritma merupakan pertentangan bunyi: tinggi atau rendahnya suara, panjang
atau pendek, keras atau lemah yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang
sehingga membentuk keindahan. Metrum berupa pengulangan tekanan kata yang
tetap, metrum dalam puisi sulit untuk ditentukan, namun dalam membaca puisi
metrum peranannya sangat penting. Suku kata dalam puisi biasanya diberi tanda,
manakah yang mendapat tekanan keras dan mana yang mendapat tekanan lemah untuk
dibacakan.
6)
Tipografi
Tipografi
merupakan bentuk atau perwajahan puisi. Hal inilah yang membedakan antara puisi
dengan prosa. Puisi berbentuk bait, larik-larik puisi tidak membangun
periodisitet yang disebut paragraf. Baris puisi tidak harus bermula dari tepi
kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman
yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan dan hal ini tidak berlaku bagi
tulisan yang berbentuk prosa.
b)
Struktur
Batin Puisi
Waluyo,
menyebut struktur batin dengan istilah hakikat puisi. Struktur batin puisi
terdiri atas tema, nada, perasaan, dan amanat. Penjelasan struktur tersebut
adalah sebagai berikut.
1)
Tema
Tema
merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok
persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi
landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan dengan
tuhan maka puisinya bertema ketuhanan. Macam-macam tema menurut Waluyo yaitu:
ketuhanan, kemanusiaan, patriotisme atau kebangsaan, kedaulatan rakyat, dan
keadilan sosial.
2)
Nada dan
Suasana
Nada
adalah sikap penyair terhadap pembaca. Apakah penyair ingin bersikap menggurui,
menasehati, mengejek, menyindir, atau bersifat lugas hanya menceritakan sesuatu
kepada pembaca. Sedangkan suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca
puisi itu akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca.
3)
Perasaan
Dalam
menciptakan puisi, perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati
oleh pembaca atau penikmat terhadap sesuatu hal atau peristiwa yang dirasakan
oleh penyair, maka penyair menyajikan ciptaannya dengan mengemukakan
penggambaran sedemikian rupa sehingga penikmat seakan akan digiring kepada
suatu keadaan dengan perasaan tertentu pula. Perasaan seperti inilah yang
disebut dengan rasa atau feeling
dalam puisi.
4)
Amanat
Amanat
adalah hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat dapat
ditemukan setelah mengetahui tema, perasaan, nada, dan suasana puisi. Amanat
dimaknai sebagai nasehat yang ditangkap oleh pembaca setelah membaca puisi.
Cara pembaca menyimpulkan amanat puisi sangat berkaitan dengan pandangan
pembaca terhadap suatu hal.
3. Fungsi Pengajaran Puisi
Menurut Damono (2000: 12), fungsi
mempelajari puisi yaitu belajar dari segala macam sejarah yang muncul dalam puisi.
Penciptaan sebuah puisi tentunya mencerminkan kehidupan pada zaman tertentu,
dari kebaikan, moral dan etika yang memberikan dampak positif bagi kehidupan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Gani
(dalam Ismawati, 2013: 62), tujuan pengajaran puisi adalah membina apresiasi
puisi dan mengembangkan kearifan serta menangkap isyarat-isyarat kehidupan.
Cakupan pengajaran apresiasi puisi sedikitnya mencakup 4 aspek yakni; (1)
menunjang keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3)
mengembangkan rasa dan karsa, dan (4) pembentukan watak.
Tahapan dalam mengapresiasi sebuah puisi
dikemukakan oleh Dola (2007: 4), hal pertama yang harus dilakukan dalam
apresiasi puisi yaitu tahap penjelajahan kemudian tahap penafsiran dan tahap
pengkreasian. Tahap penjelajahan dilakukan dengan kegiatan membaca puisi agar
dikenal dan dipahami. Tahap penafsiran yaitu menganalisis unsur-unsur pembangun
puisi sampai pada pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan puisi. Tahap
pengkreasian yaitu mengekspresikan kembali puisi yang dipelajari dalam bentuk
lain atau menciptakan karya sastra sendiri berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki, tahap ini merupakan tingkat apresiasi yang paling
tinggi.
B. Jenis-jenis Puisi
Berikut
ini adalah jenis-jenis puisi menurut Waluyo (1995: 135), diantaranya:
1.
Puisi
Naratif, Lirik, dan Deskriptif
Klasifikasi
puisi ini berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak
disampaikan.
Puisi
naratif mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Puisi-puisi naratif, misalnya
epik, romansa, balada, dan syair (berisi cerita). Puisi lirik mengungkapkan aku
lirik atau gagasan pribadinya. Jenis puisi lirik misalnya elegi, ode, dan
serenada. Sedangkan puisi deskriptif
penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan atau peristiwa, benda,
atau suasana yang dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi
deskriptif misalnya puisi satire, kritik
sosial, dan puisi-puisi impresionistik.
2.
Puisi
Kamar dan Puisi Auditorium
Puisi kamar adalah puisi yang cocok
dibaca sendirian atau dengan satu atau dua pendengar saja di dalam kamar. Puisi
auditorium adalah puisi yang cocok untuk dibaca di auditorium, di mimbar yang
jumlah pendengarnya dapat ratusan orang.
3.
Puisi
Fisikal, Platonik, dan Metafisik
Puisi
fisikal bersifat realistis artinya menggambarkan kenyataan yang ada. Yang
dilukiskan adalah kenyataan dan bukan gagasan. Hal-hal yang dilihat, didengar
atau dirasakan merupakan objek ciptaannya. Puisi platonik adalah puisi yang
sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual atau kejiwaan. Puisi
metafisikal adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca
merenungkan kehidupan dan merenungkan tuhan.
4.
Puisi
Subjektif dan Puisi Objektif
Puisi
subjektif juga disebut puisi personal, yakni puisi yang mengungkapkan gagasan,
pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi objektif
berarti puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair itu sendiri.
Puisi objektif disebut juga puisi impersonal.
5.
Puisi
Konkret
Puisi
konkret yakni puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahan bentuk
dari sudut penglihatan (Poems for the eye).
Dalam puisi konkret ini, tanda baca dan huruf-huruf baik huruf besar maupun
kecil berpotensi gambar.
6.
Puisi
Diafan, Gelap, dan Prismatis
Puisi
diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan
pengimajian, kata konkret, dan bahasa figuratif, sehingga puisinya mirip dengan
bahasa sehari-hari. Puisi gelap adalah puisi yang terlalu banyak menggunakan
majas dan sukar untuk ditafsirkan. Sedangkan dalam puisi prismatis penyair
mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan majas, verifikasi, diksi dan
pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah untuk
menafsirkan maknanya namun tidak terlalu gelap.
7.
Puisi
Parnasian dan Puisi Inspiratif
Pernasian
adalah Puisi yang diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan
bukan disadari oleh inspirasi karena adanya mood dalam jiwa penyair. Sedangkan
puisi inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion. Penyair benar-benar
masuk ke dalam suasana yang hendak dilukiskan. Suasana batin penyair
benar-benar terlibat ke dalam puisi.
8.
Stansa
Stansa
artinya puisi yang terdiri dari 8 baris. Stansa berbeda dengan oktaf karena
oktaf dapat terdiri atas 16 atau 24 baris.
9.
Puisi
Demonstrasi dan Pampflet
Puisi
demonstrasi adalah Puisi yang melukiskan perasaan kelompok bukan perasaan
individu. Puisi demonstrasi sering menggunakan kata-kata yang membakar
semangat. Puisi pamflet juga merupakan protes sosial. Disebut puisi pamflet
karena bahasanya adalah bahasa pamflet. Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak
puas kepada keadaan.
10.
Alegori
Puisi yang dimaksudkan untuk
memberikan nasihat tentang budi pekerti dan agama. Jenis alegori yang terkenal
ialah parable yang juga disebut dongeng perumpamaan.
C. Makna Dalam Puisi
Dalam puisi, kata-kata, frasa, dan
kalimat mengandung makna tambahan atau makna konotatif. Bahasa figuratif yang
digunakan menyebabkan makna dalam baris-baris puisi itu tersembunyi dan harus
ditafsirkan. Proses mencari makna dalam puisi merupakan proses pergulatan terus-menerus.
Bahasa puisi adalah bahasa figuratif yang bersusun-susun. Semua kata memiliki
kemungkinan makna ganda. Kata yang nampaknya tidak bermakna diberi makna oleh
penyair. Makna kata mungkin diberi makna baru. Nilai rasa diberi nilai rasa
baru. Tidak semua kata, frasa, dan kalimat bermakna tambahan. Kalau keadaannya
demikian, puisi akan menjdi sangat gelap. Sebaliknya, puisi tidak mungkin tanpa
makna tambahan (transparant) sehingga kehilangan kodrat bahasa puisi.
Rolland Barthes dalam kupasannya
terhadap S/Z menyebutkan adanya lima kode bahasa yang dapat membantu pembaca
memahami makna karya sastra. Kode-kode itu melatarbelakangi makna karya sastra.
Meskipun pandangan itu diterapkan untuk prosa, namun prinsip-prinsipnya dapat
digunakan untuk puisi juga. Lima kode itu, ialah:
1)
Kode
Hermeneutik (Penafsiran)
Dalam
puisi, makna yang hendak disampaikan tersembunyi, menimbulkan tanda tanya bagi
pembaca. Tanda tanya itu merupakan daya tarik karena pembaca penasaran ingin
mengetahui jawabannya. Misalnya, dalam puisi, “senja dipelabuhan kecil”,
pembaca akan bertanya apa maksud penyair dengan judul itu? Apa makna senja dan
apa makna pelabuhan.
2)
Kode Proairetik (Perbuatan)
Dalam
karya sastra perbuatan atau gerak atau alur pikiran penyair merupakan rentetan
yang membentuk garis linear. Pembaca dapat menelusuri gerak batin dan pikiran
penyair melalui perkembangan pemikiran yang linear itu. Baris demi baris
membentuk bait. Bait pertama dan kedua serta seterusnya merupakan gerak
berkesinambungan. Gagasan yang tersusun merupakan gagasan runtut. Jika
dipelajari dengan seksama, maka kita akan menemukan kesamaan gerak batin
penyair yang sama dalam berbagai puisinya. Ciri khas itu akan nampak karena
seorang penyair mempunyai metode yang hampir sama dalam proses penciptaan puisi.
Sulit kiranya seorang penyair mengubah teknik pengucapan puisi yang sudah
dimilikinya.
3)
Kode
Semantik (Sememe)
Makna
yang kita tafsirkan dalam puisi adalah makna konotatif. Bahasa kias banyak kita
jumpai. Sebab itu, menafsirkan puisi berbeda dengan menafsirkan frosa.
Menghadapi bentuk puisi, pembaca sudah harus bersiap-siap untuk memahami
bahasanya yang khas.
4)
Kode
Simbolik
Kode
semantik berhubungan dengan kode simbolik; hanya kode semantik lebih luas. Kode
simbolik lebih mengarah pada kode bahasa sastra yang mengungkapkan/melambangkan
suatu hal dengan hal lain. Makna lambang banyak kita jumpai dalam puisi.
Peristiwa-peristiwa yang dilukiskan dalam puisi belum tentu bermaksud hanya
untuk bercerita, namun mungkin merupakan lambang suatu kejadian. Bahkan mungkin
merupakan lambang kejadian yang akan datang. Misalnya, nyanyian “semut ireng”
(semut hitam) yang terkenal dalam sastra jawa merupakan lambang kejatuhan
kerajaan surakarta. Secara khusus, kata-kata dan lukisan peristiwa juga penuh
dengan lambang-lambang.
5)
Kode
Budaya
Pemahaman
suatu bahasa akan lengkap jika kita memahami kode budaya dari bahasa itu.
Banyak kata-kata dan ungkapan yang sulit dipahami secara tepat dan langsung
jika kita tidak memahami latar balakang kebudayaan dari bahasa itu. Memahami
bahasa diperlukan “cultural understanding” dari pembaca. Misalnya “Dik Narti” dalam puisi Rendra,
sulit diterjemahkan kedalam bahasa inggris karena dalam sistem budaya bahasa
inggris panggilan serupa itu tidak ada. Demikian pula kata “Jeng” dalam bahasa
jawa. Kata Durno, Sengkuni, Kresno dan sebagainya mewakili suatu konsep makna
yang hanya bisa ditelusuri melalui kode budaya jawa.
Selain
kode bahasa yang dikemukakan oleh Rolland Barthes. Riffaterre juga mengemukakan pendapat tentang makna
sebuah puisi. Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 2010: 210), ketidaklangsungan
pernyataan puisi disebabkan oleh tiga hal yaitu:
1)
Penggantian Arti (displacing) yaitu kata-kata kiasan
menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi, dalam penggantian
arti ini suatu kata bisa berarti lain atau makna lain
2)
Penyimpangan Arti (distorting) yaitu penyimpangan yang
dalam puisi yang mengandung ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense
3)
Penciptaan Arti (creating of meaning) yaitu bila ruang
teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar
dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada
artinya, misalnya; simitri, rima, enjembement, atau ekuivalensi-ekuivalensi
makna.
D. Pembelajaran Puisi
Pembelajaran
apresiasi puisi tidak lepas dari kegiatan cipta sastra, menikmati dan mengambil
pengalaman atau amanat dari puisi. Pembelajaran puisi bukanlah sekadar
memindahkan pengetahuan guru kepada anak didik namun juga mengajarkan tentang
nilai-nilai yang terkandung dalam puisi. Menurut Rahmanto
(dalam Ismawati, 2013: 64), hal
terpenting dalam pengajaran puisi di kelas adalah menjaga agar suasana tetap
santai. Jangan sampai seorang guru atau siswa merasakan awal pelajaran sebagai
sesuatu yang menegangkan atau terlalu kaku. Puisi tidak berbeda dengan
bentuk-bentuk sastra lain yang menyampaikan pesan dengan bantuan kata-kata.
Kata-kata itu memang kadang-kadang mengandung berbagai arti dan disusun dengan
pola ketatabahasaan yang khusus agar lebih indah, padat, dan bermakna dalam. Dalam mengajak para siswa
untuk memahami dan menikmati puisi hendaknya guru tidak terlalu tergesa-gesa
membebani para siswa dengan istilah-istilah teknis seperti gaya bahasa metafora,
hiperbola, personifikasi. Istilah-istilah ini hanya akan dihafalkan dan akan
melelahkan ingatan.
Pembelajaran
puisi bertujuan membina apresiasi puisi dan mengembangkan kearifan menangkap
isyarat-isyarat kehidupan. Untuk dapat menghargai secara wajar
pengalaman-pengalaman yang tertuang dalam sebuah puisi, kita harus mendekati
dan menggaulinya secara intensif. Tujuan
pengajaran puisi adalah memperoleh
pengalaman mengapresiasi puisi, pengalaman berekspresi dengan puisi, dan
memeroleh pengetahuan dan sikap yang baik terhadap puisi. Dalam perinciannya
tentu saja tujuan itu disesuaikan dengan siswa yang akan belajar puisi. Dengan
demikian tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran apresiasi puisi ialah:
a)
Peserta didik
hendaknya memeroleh kesadaran yang lebih baik terhadap diri sendiri, orang
lain, dan kehidupan sekitarnya sehingga mereka bersikap terbuka, rendah hati,
peka perasaan dan pikiran kritisnya terhadap tingkah laku pribadi, orang lain,
serta masalah-masalah kehidupan sekitarnya.
b)
Peserta didik
hendaknya memeroleh kesenangan dari membaca dan mempelajari puisi hingga tumbuh
keinginan membaca dan mempelajari puisi pada waktu senggangnya.
c)
Peserta didik
hendaknya memeroleh pengetahuan dan pengertian dasar tentang puisi hingga
tumbuh keinginan memadukannya dengan pengalaman pribadinya yang diperoleh di
sekolah kini dan mendatang.
Pada hakikatnya tujuan
pembelajaran puisi adalah menanamkan rasa peka terhadap karya sastra, sehingga
tumbuh rasa bangga, senang, atau haru. Untuk mencapai tujuan tersebut,
pembelajaran sastra khusus puisi berusaha mengakrabkan peserta didik diberbagai
tingkat pendidikan dengan konvensi-konvensi puisi modern, harus mengembangkan
kepekaannya terhadap konvensi itu, sehingga peserta didik mengenal unsur-unsur
dasar yang luas tersebar dalam puisi modern. Konvensi yasng dimaksud menyangkut
latar belakang lingkungan masyarakat pemakai bahasa dan budaya tertentu, dan
keakraban dibidang ini akan menumbuhkan sikap yang apresiatif.
Sesuai
dengan tujuan pengajaran puisi yang telah di ungkapkan di atas yaitu memperoleh
pengalaman mengapresiasi puisi, pengalaman berekspresi dengan puisi, dan
memeroleh pengetahuan dan sikap yang baik terhadap puisi. Menurut Rusyana (dalam Alfiah, 2009: 84), langkah-langkah
pembelajaran yang dapat dilakukan saat mengajarkan puisi yaitu:
1)
Mempelajari
puisi yang akan dibawakan
Guru
hendaknya terlebih dahulu mempelajari puisi yang akan dibawakan atau diajarkan.
Dengan mempelajari puisi yang akan dibawakan guru akan mempunyai pegangan. Ia
memeriksa bagian-bagian mana yang memerlukan keterangan dan bagian mana yang
tidak. Ia akan dapat menentukan aspek manakah dari puisi yang memerlukan
perhatian khusus. Salah satu hal yang sangat penting adalah menemukan pendekatan
dalam puisi, yaitu apakah penyair dalam puisinya menunjukkan kata-kata kepada
seseorang, ataukah kepada kemanusiaan pada umumnya, apakah puisi menyajikan
suatu percakapan dengan orang lain atau suatu monolog dengan diri sendiri.
2)
Menentukan
kegiatan yang akan dilakukan
Setelah
guru mengenali puisi yang akan dibawakan, ia menentukan kegiatan apa yang akan
dilakukannya di dalam kelas. Guru bisa berpendapat beberapa puisi akan langsung
saja dibaca oleh guru dan siswa, tanpa memberikan keterangan apa-apa. Ada pula
puisi yang dianggapnya memerlukan pengantar sebelum dibawakan. Demikianlah guru
menentukan kegiatan yang akan dilakukan di kelas seperti: guru membacakan puisi
dan siswa mendengarkan, siswa membaca nyaring sendiri atau dalam paduan membaca
puisi, siswa bertukar pengalaman tentang puisi yang mereka baca, siswa dan guru
berdiskusi dll. Kegiatan mengenal puisi dan menentukan apa yang akan dilakukan
adalah kegiatan guru sebelum masuk kelas. Kegiatan selanjutnya adalah kegiatan
guru dan siswa di dalam kelas.
3)
Memberikan
pengantar pengajaran
Sebelum
masuk ke dalam kegiatan pengajaran puisi, guru memberikan pengantar yang
maksudnya menarik perhatian siswa pada pokok yang akan dipelajari. Caranya
bermacam-macam, bergantung pada pengalaman guru tentang puisi yang akan
dibawakan. Pengantar ini hendaknya benar-benar mengantarkan siswa ke dalam
suasana yang diharapkan terjadi pada kegiatan pengajaran selanjutnya.
4)
Menyajikan
bahan pengajaran
Dalam
menyajikan bahan pengajaran terlebih dahulu guru hendaknya menciptakan suasana
belajar-mengajar yang menyenangkan. Puisi harus menjadi sumber kenikmatan bagi
siswa. Oleh karena itu penyajiannya pun harus menyenangkan. Puisi itu pada
dasarnya untuk didengarkan, oleh karena itu siswa hendaknya berkenalan dengan
puisi secara lisan. Dalam penyampaian secara lisanlah bunyi, irama dan tekanan
dapat ditangkap dan diapresiasi oleh siswa. Oleh karena itu, guru harus mampu
membacakan puisi dengan baik untuk keperluan menyampaikan puisi kepada
siswanya. Akan tetapi guru harus berusaha agar siswa tidak menjiplak bacaannya
itu. Oleh karena itu, siswa hendaknya dirangsang untuk membaca nyaring sesuai
dengan caranya sendiri.
5)
Mendiskusikan
puisi yang telah dibaca
Diskusi
dilakukan untuk lebih mendalami puisi yang telah dibaca, dalam diskusi tentang
puisi yang telah dibacakan ditanyakan misalnya: Siapakah yang bicara dalam
puisi itu? Kepada siapa pembicaraan ditujukan? Bagaimana gambaran keadaannya?
Apa yang telah ia perbuat? Apa yang dipikirkannya? Apa yang ingin diperbuatnya?
Apa ia merasa bahagia, ketakutan atau kesepian? Dengan melakukan diskusi
terhadap puisi, siswa akan lebih mengetahui dan memahami tentang puisi yang
telah mereka baca.
6)
Memperdalam
pengalaman
Guru
berusaha agar siswa memperdalam pengalaman mereka tentang puisi yaitu memberi
kesempatan kepada siswa untuk membaca puisi dengan nyaring, agar mereka dapat
lebih merasakannya. Akan tetapi, siswa harus terlebih dahulu mempersiapkannya
dan melakukan latihan membaca puisi. Kegiatan membaca puisi dapat dirangsang
dengan berbagai cara misalnya: mengadakan acara pembacaan puisi dan pemberian
penghargaan kepada pembacaan yang menunjukkan penafsiran dan penghayatan yang
sesuai dengan isi puisi yang dibacakan.
Pandangan lain dikemukakan
oleh Ismawati (2013: 68), model yang tepat dalam apresiasi puisi yaitu dengan
melakukan kegiatan yang nyata melalui demonstrasi atau pemodelan. Hal ini dapat
memberikan perspektif dan pemahaman yang sama setiap peserta didik.
1)
Berikan puisi yang isi atau temanya sesuai dengan mental age peserta didik
2)
Ajaklah peserta didik menikmati secara langsung yaitu dengan memahami puisi
3)
Setting-lah suasana kelas yang santai
dan penuh kesyahduan dengan irama musik instrumental
4)
Gunakan model yang dianggap mahir atau mampu dalam membaca puisi
5)
Berikan waktu pada peserta didik untuk mengomentari atau menanggapi
pembacaan puisi
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan puisi adalah ungkapan hati penyair dari
keseluruhan pengalaman hidup yang
menggunakan bahasa yang khas dalam penyajiannya. Puisi lahir dari
perenungan mendalam dengan menggunakan kolaborasi antara pikiran dan perasaan
sehingga menghasilkan karya yang sarat makna.
Unsur pembentuk dalam puisi terbagi
menjadi dua unsur yaitu unsur fisik dan unsur batin puisi. Unsur fisik puisi
terdiri dari; diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif atau majas,
versifikasi dan tata wajah atau tipografi sedangkan unsur batin puisi terdari dari;
tema, perasaan, nada dan suasana, amanat.
Terdapat beberapa cara untuk mendalami dan
memaknai sebuah puisi, Roland Barthes mengungkapkan lima kode bahasa yaitu;
kode hermeneutik, proairetik, semantik, simbolik dan budaya sedangkan menurut
Riffaterre terdapat tiga cara untuk mendalami puisi yaitu; mengetahui
penggantian arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti dari puisi.
Pada dasarnya pembelajaran sastra atau
puisi haruslah dengan model, metode dan teknik yang nyata yaitu dengan
melibatkan peserta didik secara langsung dalam memahami dan mengkaji puisi,
dengan begitu siswa dapat menemukan arti atau amanat dari puisi yang
dipelajari.
B.
Saran
Penulis
menyarankan agar pembaca lebih memperbanyak lagi referensi-referensi mengenai teori dan pengajaran puisi
selain makalah ini. Ini dikarenakan oleh keterbatasan penulis dalam mencari
referensi-referensi dalam penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alfiah. 2009. Pengajaran Puisi
Sebuah Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Aminuddin.
2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru.
Damono, Sapardi Djoko. 2000. Priyayi Abangan. Yogyakarta: Bentang
Budaya.
Dola, Abdullah. 2007. Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama.
Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Ismawati, Esti. 2013. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Ombak.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra,
dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti. 2009. Rona Bahasa dan Sastra Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Waluyo,
Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi.
Jakarta: Erlangga.