Senin, 22 Desember 2014

MAKALAH TEORI DAN PENGAJARAN PUISI


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Karya sastra pada dasarnya merupakan ungkapan penulis terhadap keadaan dan pengalaman hidup yang menggunakan media bahasa sebagai perantara atau pengungkapan ekspresi. Oleh sebab itu, karya sastra pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi dalam kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya.
Karya sastra yang perkembangannya sangat pesat yaitu puisi. Bahkan sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia sebenarnya telah bersastra yaitu dengan mantra, doa-doa untuk dewa  atau nenek moyang. Hal ini menunjukkan bahwa peran puisi dalam kehidupan merupakan sesuatu yang dominan dalam menunjukkan jati diri hidup.
Jika melihat hakikat dari puisi yaitu salah satu bentuk karya sastra yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa yang padat, mendobrak dan penuh dengan makna. Puisi dibentuk oleh kata-kata yang benar-benar terpilih, terseleksi dan melalui proses yang ketat. Puisi merupakan hasil ungkapan perasaan penyair yang dituangkan melalui kata-kata atau bahasa yang sengaja dipilih penyair untuk mewakili perasaannya. Dalam pengertian ini, maka makna dalam puisi menyatakan sesuatu secara tak langsung, yaitu mengatakan sesuatu hal dengan arti yang lain atau makna dibalik susunan kata-kata dan tipografinya.
Sebagai salah satu jenis sastra, puisi merupakan pernyataan sastra yang paling utama. Segala unsur sastra mengental dalam puisi. Puisi mengandung karya estetis yang bermakna, mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang panca indra dalam susunan yang berirama. Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang diubah dalam wujud yang paling berkesan.
Melalui puisi kita dapat merasakan tawa, tangis, senyum, berfikir, merenung, terharu bahkan emosi dan marah. Sampai saat ini, puisi selalu mengikat hati dan digemari oleh semua lapisan masyarakat karena keindahan dan keunikannya. Oleh karena kemajuan masyarakat dari masa kemasa selalu meningkat, maka corak, sifat dan bentuk puisi selalu berubah, mengikuti perkembangan konsep estetika yang selalu berubah dan kemajuan intelektual yang selalu meningkat.
Kondisi pengajaran sastra di sekolah saat ini sangat memprihatinkan, pengajaran sastra termasuk puisi hanya dipandang sebagai mata pelajaran yang monoton. Hal ini dikarenakan daya apresiasi sastra hanya menekankan pada aspek afektif yang berkutat dengan rasa, nurani, nilai-nilai dan seterusnya. Selain itu, kesulitan dalam memaknai sebuah karya sastra, juga menjadi masalah yang dominan. Tentunya dibutuhkan sebuah cara atau teknik yang baru dalam mengajarkan puisi atau sastra. Melalui makalah ini, kami mencoba untuk membahas tentang hakikat puisi dan beberapa cara atau teknik dalam pengajaran puisi. 
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini, yaitu:
1.      Apakah hakikat puisi?
2.      Apa sajakah jenis-jenis puisi?
3.      Bagaimanakan cara memaknai puisi?
4.      Bagaimanakah pengajaran puisi?
C.     Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dengan adanya makalah ini, yakni:
1.      Mengetahui hakikat puisi.
2.      Mengetahui jenis-jenis puisi.
3.      Mengetahui cara memaknai puisi.
4.      Mengetahui pengajaran puisi.
D.    Manfaat
1.    Kehadiran makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam pembelajaran sastra khususnya pengetahuan tentang puisi.








BAB II
PEMBAHASAN

A.     Hakikat Puisi
1.       Pengertian Puisi
Kata puisi berasal dari bahasa Yunani yaitu Poeima yang berarti membuat, Poeisis yang berarti pembuatan. Dalam bahasa Inggis disebut Poem atau Poetry. Puisi diartikan membuat dan pembuatan karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah (Aminuddin (2011: 134).
Menurut Hudson (dalam Aminuddin, 2011: 134), puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya. Ketika kita membaca suatu puisi sering kali kita merasakan ilusi tentang keindahan, terbawa dalam suatu angan-angan, sejalan dengan keindahan penataan unsur bunyi, penciptaan gagasan, maupun suasana-suasana tertentu.
Slametmuljana (dalam Waluyo, 1995: 23), menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk kesusastraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya. Pengulangan kata itu menghasilkan rima, ritma, dan musikalitas. Batasan yang diberikan Slametmuljana tersebut berkaitan dengan struktur fisik saja. Sedangkan James Reeves, menyatakan bahwa puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh daya pikat. Menurut Waluyo (1995: 25), puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.
Coleridge (dalam Pradopo, 2010: 6), mengemukakan bahwa puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya. Sedangkan menurut Carlyle, puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair dalam menciptakan puisi memikirkan bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya. Pendapat lain dikemukakan oleh Shelley, mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat, seperti kebahagiaan, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai.
Menurut Pradopo (2010: 7), puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa puisi adalah ungkapan hati penyair dari keseluruhan pengalaman hidup yang menggunakan bahasa yang khas dalam penyajiannya. Puisi lahir dari perenungan mendalam dengan menggunakan kolaborasi antara pikiran dan perasaan sehingga menghasilkan karya yang sarat makna.
2.       Unsur Pembentuk Puisi
Menurut Waluyo (1995: 71), hakikat puisi disebut struktur batin sedangkan metode puisi disebut struktur fisik. Adapun wujud konkret hakikat puisi adalah pernyataan batin penyair, sedangkan metode adalah struktur pembangun bentuk kebahasaan puisi.
a)        Struktur Fisik Puisi
Unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur fisik puisi meliputi: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), verifikasi dan tata wajah puisi (tipografi). Berikut akan diuraikan unsur-unsur fisik puisi.
1)      Diksi (Pilihan Kata)
Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi. Oleh sebab itu, disamping memilih kata yang tepat, penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan kata-kata tersebut. Hendaknya disadari bahwa kata-kata dalam puisi bersifat konotatif artinya memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu.

2)      Pengimajian
Ada hubugan erat antara diksi, pengimajian dan kata konkret. Diksi yang terpilih harus menghasilkan pengimajian yang dapat dihayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa. Pengimajian dapat dibatasi dengan kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Puisi seolah-olah mengandung gema suara, benda yang tampak, atau sesuatu yang dapat dirasakan, diraba, atau disentuh. Oleh karena itu, pengimajian berhubungan erat dengan diksi dan kata konkret.
Menurut Effendi (dalam Waluyo, 1995: 80), pengimajian dalam puisi dapat dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau menggugah timbulnya imaji dalam diri pembacanya, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan mata hati untuk melihat benda-benda, warna, dengan telinga hati mendengar bunyi-bunyian dan dengan perasaan hati kita menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna.
Menurut Situmorang (dalam Sugihastuti, 2009: 43), membagi imajinasi menjadi delapan yaitu: Pertama, imajinasi visual yaitu imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah melihat. Kedua, imajinasi auditory yaitu imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah mendengar. Ketiga, imajinasi articulatory yaitu imajinasi yang menyebabkan pembaca mendengarkan bunyi-bunyian dengan artikulasi tertentu pada bagian mulut. Empat, imajinasi olfaktory yaitu imajinasi penciuman atau pembauan. Lima, imajinasi gustatory yaitu imajinasi pencicipan, pembaca seolah-olah mencicipi sesuatu. Enam, imajinasi tactual yaitu imajinasi rasa kulit atau pembaca seolah-olah mengalami sesuatu di kulit. Tujuh, imajinasi kinastetik yaitu imajinasi gerakan tubuh atau otot yang menyebabkan kita merasakan atau melihat otot-otot tubuh. Delapan, imajinasi organik yaitu imajinasi badan yang menyebabkan kita merasakan atau melihat badan lesu, loyo, lemas dan sebagainya.
3)      Kata Konkret
Kata konkret ialah kata-kata yang dapat dilukiskan dengan tepat, membayangkan dengan jitu akan apa yang hendak dikemukakan oleh penyair. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar atau merasakan apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisinya. Jika imaji pembaca merupakan akibat dari pengimajian yang diciptakan penyair, maka kata konkret ini merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian itu. Dengan kata yang diperkonkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau kejadian yang dilukiskan oleh penyair.
4)      Bahasa Figuratif (Majas)
Menurut Waluyo (1995: 83), bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Pendapat lain dikemukakan oleh Pradopo (2010: 62), adanya bahasa kiasan ini menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik dan hidup. Bahasa kiasan atau majas dibagi menjadi tujuh yaitu: perbandingan, metafora, perumpamaan epos, personifikasi, metonimi, sinekdoki dan alegori.
Fungsi dan kedudukan gaya bahasa atau majas dikemukakan oleh Ratna (2013: 58), puisi merupakan struktur gaya bahasa karena dalam puisi tidak menampilkan cerita, puisi hanya melukiskan tema, irama, rima dan gaya bahasa yang melekat. Oleh karena itu, gaya bahasa menjadikan puisi lebih segar, menarik dan mempunyai kedalaman makna. Hal inilah yang menjadikan pembeda antara puisi dengan ilmu pengetahuan sebagai manifestasi pikiran yang harus dikemukakan secara jelas.
5)   Versifikasi
Dalam puisi terdapat bunyi yang disebut rima dan ritma. Rima adalah pengulangan bunyi di dalam baris atau larik puisi, pada akhir baris puisi atau pada keseluruhan baris atau bait puisi.
Menurut Waluyo, ritma adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi dengan adanya pengulangan bunyi, penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi puisi akan semakin merdu dan indah jika dibaca. Selanjutnya Slamet Mulyana, menyatakan bahwa ritma merupakan pertentangan bunyi: tinggi atau rendahnya suara, panjang atau pendek, keras atau lemah yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan. Metrum berupa pengulangan tekanan kata yang tetap, metrum dalam puisi sulit untuk ditentukan, namun dalam membaca puisi metrum peranannya sangat penting. Suku kata dalam puisi biasanya diberi tanda, manakah yang mendapat tekanan keras dan mana yang mendapat tekanan lemah untuk dibacakan.
6)   Tipografi
Tipografi merupakan bentuk atau perwajahan puisi. Hal inilah yang membedakan antara puisi dengan prosa. Puisi berbentuk bait, larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf. Baris puisi tidak harus bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan dan hal ini tidak berlaku bagi tulisan yang berbentuk prosa.
b)        Struktur Batin Puisi
Waluyo, menyebut struktur batin dengan istilah hakikat puisi. Struktur batin puisi terdiri atas tema, nada, perasaan, dan amanat. Penjelasan struktur tersebut adalah sebagai berikut.
1)   Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan dengan tuhan maka puisinya bertema ketuhanan. Macam-macam tema menurut Waluyo yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, patriotisme atau kebangsaan, kedaulatan rakyat, dan keadilan sosial.


2)   Nada dan Suasana
Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca. Apakah penyair ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bersifat lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sedangkan suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca.
3)   Perasaan
Dalam menciptakan puisi, perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca atau penikmat terhadap sesuatu hal atau peristiwa yang dirasakan oleh penyair, maka penyair menyajikan ciptaannya dengan mengemukakan penggambaran sedemikian rupa sehingga penikmat seakan akan digiring kepada suatu keadaan dengan perasaan tertentu pula. Perasaan seperti inilah yang disebut dengan rasa atau feeling dalam puisi.
4)   Amanat
Amanat adalah hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat dapat ditemukan setelah mengetahui tema, perasaan, nada, dan suasana puisi. Amanat dimaknai sebagai nasehat yang ditangkap oleh pembaca setelah membaca puisi. Cara pembaca menyimpulkan amanat puisi sangat berkaitan dengan pandangan pembaca terhadap suatu hal.
3.       Fungsi Pengajaran Puisi
Menurut Damono (2000: 12), fungsi mempelajari puisi yaitu belajar dari segala macam sejarah yang muncul dalam puisi. Penciptaan sebuah puisi tentunya mencerminkan kehidupan pada zaman tertentu, dari kebaikan, moral dan etika yang memberikan dampak positif bagi kehidupan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Gani (dalam Ismawati, 2013: 62), tujuan pengajaran puisi adalah membina apresiasi puisi dan mengembangkan kearifan serta menangkap isyarat-isyarat kehidupan. Cakupan pengajaran apresiasi puisi sedikitnya mencakup 4 aspek yakni; (1) menunjang keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan rasa dan karsa, dan (4) pembentukan watak.
Tahapan dalam mengapresiasi sebuah puisi dikemukakan oleh Dola (2007: 4), hal pertama yang harus dilakukan dalam apresiasi puisi yaitu tahap penjelajahan kemudian tahap penafsiran dan tahap pengkreasian. Tahap penjelajahan dilakukan dengan kegiatan membaca puisi agar dikenal dan dipahami. Tahap penafsiran yaitu menganalisis unsur-unsur pembangun puisi sampai pada pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan puisi. Tahap pengkreasian yaitu mengekspresikan kembali puisi yang dipelajari dalam bentuk lain atau menciptakan karya sastra sendiri berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, tahap ini merupakan tingkat apresiasi yang paling tinggi.
B.     Jenis-jenis Puisi
Berikut ini adalah jenis-jenis puisi menurut Waluyo (1995: 135), diantaranya:

1.      Puisi Naratif, Lirik, dan Deskriptif
Klasifikasi puisi ini berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak disampaikan.
Puisi naratif mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Puisi-puisi naratif, misalnya epik, romansa, balada, dan syair (berisi cerita). Puisi lirik mengungkapkan aku lirik atau gagasan pribadinya. Jenis puisi lirik misalnya elegi, ode, dan serenada.  Sedangkan puisi deskriptif penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan atau peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi deskriptif  misalnya puisi satire, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionistik.
2.      Puisi Kamar dan Puisi Auditorium
            Puisi kamar adalah puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu atau dua pendengar saja di dalam kamar. Puisi auditorium adalah puisi yang cocok untuk dibaca di auditorium, di mimbar yang jumlah pendengarnya dapat ratusan orang.
3.      Puisi Fisikal, Platonik, dan Metafisik
Puisi fisikal bersifat realistis artinya menggambarkan kenyataan yang ada. Yang dilukiskan adalah kenyataan dan bukan gagasan. Hal-hal yang dilihat, didengar atau dirasakan merupakan objek ciptaannya. Puisi platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual atau kejiwaan. Puisi metafisikal adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan merenungkan tuhan.
4.      Puisi Subjektif dan Puisi Objektif
Puisi subjektif juga disebut puisi personal, yakni puisi yang mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi objektif berarti puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair itu sendiri. Puisi objektif disebut juga puisi impersonal.
5.      Puisi Konkret
Puisi konkret yakni puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahan bentuk dari sudut penglihatan (Poems for the eye). Dalam puisi konkret ini, tanda baca dan huruf-huruf baik huruf besar maupun kecil berpotensi gambar.
6.      Puisi Diafan, Gelap, dan Prismatis
Puisi diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata konkret, dan bahasa figuratif, sehingga puisinya mirip dengan bahasa sehari-hari. Puisi gelap adalah puisi yang terlalu banyak menggunakan majas dan sukar untuk ditafsirkan. Sedangkan dalam puisi prismatis penyair mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan majas, verifikasi, diksi dan pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah untuk menafsirkan maknanya namun tidak terlalu gelap.
7.      Puisi Parnasian dan Puisi Inspiratif
Pernasian adalah Puisi yang diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan bukan disadari oleh inspirasi karena adanya mood dalam jiwa penyair. Sedangkan puisi inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion. Penyair benar-benar masuk ke dalam suasana yang hendak dilukiskan. Suasana batin penyair benar-benar terlibat ke dalam puisi.
8.      Stansa
Stansa artinya puisi yang terdiri dari 8 baris. Stansa berbeda dengan oktaf karena oktaf dapat terdiri atas 16 atau 24 baris.
9.      Puisi Demonstrasi dan Pampflet
Puisi demonstrasi adalah Puisi yang melukiskan perasaan kelompok bukan perasaan individu. Puisi demonstrasi sering menggunakan kata-kata yang membakar semangat. Puisi pamflet juga merupakan protes sosial. Disebut puisi pamflet karena bahasanya adalah bahasa pamflet. Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak puas kepada keadaan.
10.   Alegori
             Puisi yang dimaksudkan untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti dan agama. Jenis alegori yang terkenal ialah parable yang juga disebut dongeng perumpamaan.
C.     Makna Dalam Puisi
             Dalam puisi, kata-kata, frasa, dan kalimat mengandung makna tambahan atau makna konotatif. Bahasa figuratif yang digunakan menyebabkan makna dalam baris-baris puisi itu tersembunyi dan harus ditafsirkan. Proses mencari makna dalam puisi merupakan proses pergulatan terus-menerus. Bahasa puisi adalah bahasa figuratif yang bersusun-susun. Semua kata memiliki kemungkinan makna ganda. Kata yang nampaknya tidak bermakna diberi makna oleh penyair. Makna kata mungkin diberi makna baru. Nilai rasa diberi nilai rasa baru. Tidak semua kata, frasa, dan kalimat bermakna tambahan. Kalau keadaannya demikian, puisi akan menjdi sangat gelap. Sebaliknya, puisi tidak mungkin tanpa makna tambahan (transparant) sehingga kehilangan kodrat bahasa puisi.
             Rolland Barthes dalam kupasannya terhadap S/Z menyebutkan adanya lima kode bahasa yang dapat membantu pembaca memahami makna karya sastra. Kode-kode itu melatarbelakangi makna karya sastra. Meskipun pandangan itu diterapkan untuk prosa, namun prinsip-prinsipnya dapat digunakan untuk puisi juga. Lima kode itu, ialah:
1)        Kode Hermeneutik (Penafsiran)
 Dalam puisi, makna yang hendak disampaikan tersembunyi, menimbulkan tanda tanya bagi pembaca. Tanda tanya itu merupakan daya tarik karena pembaca penasaran ingin mengetahui jawabannya. Misalnya, dalam puisi, “senja dipelabuhan kecil”, pembaca akan bertanya apa maksud penyair dengan judul itu? Apa makna senja dan apa makna pelabuhan.
2)         Kode Proairetik (Perbuatan)
 Dalam karya sastra perbuatan atau gerak atau alur pikiran penyair merupakan rentetan yang membentuk garis linear. Pembaca dapat menelusuri gerak batin dan pikiran penyair melalui perkembangan pemikiran yang linear itu. Baris demi baris membentuk bait. Bait pertama dan kedua serta seterusnya merupakan gerak berkesinambungan. Gagasan yang tersusun merupakan gagasan runtut. Jika dipelajari dengan seksama, maka kita akan menemukan kesamaan gerak batin penyair yang sama dalam berbagai puisinya. Ciri khas itu akan nampak karena seorang penyair mempunyai metode yang hampir sama dalam proses penciptaan puisi. Sulit kiranya seorang penyair mengubah teknik pengucapan puisi yang sudah dimilikinya.
3)        Kode Semantik (Sememe)
 Makna yang kita tafsirkan dalam puisi adalah makna konotatif. Bahasa kias banyak kita jumpai. Sebab itu, menafsirkan puisi berbeda dengan menafsirkan frosa. Menghadapi bentuk puisi, pembaca sudah harus bersiap-siap untuk memahami bahasanya yang khas.
4)        Kode Simbolik
 Kode semantik berhubungan dengan kode simbolik; hanya kode semantik lebih luas. Kode simbolik lebih mengarah pada kode bahasa sastra yang mengungkapkan/melambangkan suatu hal dengan hal lain. Makna lambang banyak kita jumpai dalam puisi. Peristiwa-peristiwa yang dilukiskan dalam puisi belum tentu bermaksud hanya untuk bercerita, namun mungkin merupakan lambang suatu kejadian. Bahkan mungkin merupakan lambang kejadian yang akan datang. Misalnya, nyanyian “semut ireng” (semut hitam) yang terkenal dalam sastra jawa merupakan lambang kejatuhan kerajaan surakarta. Secara khusus, kata-kata dan lukisan peristiwa juga penuh dengan lambang-lambang.
5)        Kode Budaya
 Pemahaman suatu bahasa akan lengkap jika kita memahami kode budaya dari bahasa itu. Banyak kata-kata dan ungkapan yang sulit dipahami secara tepat dan langsung jika kita tidak memahami latar balakang kebudayaan dari bahasa itu. Memahami bahasa diperlukan “cultural understanding” dari pembaca.  Misalnya “Dik Narti” dalam puisi Rendra, sulit diterjemahkan kedalam bahasa inggris karena dalam sistem budaya bahasa inggris panggilan serupa itu tidak ada. Demikian pula kata “Jeng” dalam bahasa jawa. Kata Durno, Sengkuni, Kresno dan sebagainya mewakili suatu konsep makna yang hanya bisa ditelusuri melalui kode budaya jawa.
             Selain kode bahasa yang dikemukakan oleh Rolland Barthes. Riffaterre juga mengemukakan pendapat tentang makna sebuah puisi. Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 2010: 210), ketidaklangsungan pernyataan puisi disebabkan oleh tiga hal yaitu:
1)        Penggantian Arti (displacing) yaitu kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi, dalam penggantian arti ini suatu kata bisa berarti lain atau makna lain
2)        Penyimpangan Arti (distorting) yaitu penyimpangan yang dalam puisi yang mengandung ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense
3)        Penciptaan Arti (creating of meaning) yaitu bila ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya, misalnya; simitri, rima, enjembement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna.


D.    Pembelajaran Puisi
Pembelajaran apresiasi puisi tidak lepas dari kegiatan cipta sastra, menikmati dan mengambil pengalaman atau amanat dari puisi. Pembelajaran puisi bukanlah sekadar memindahkan pengetahuan guru kepada anak didik namun juga mengajarkan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam puisi. Menurut Rahmanto (dalam Ismawati, 2013: 64), hal terpenting dalam pengajaran puisi di kelas adalah menjaga agar suasana tetap santai. Jangan sampai seorang guru atau siswa merasakan awal pelajaran sebagai sesuatu yang menegangkan atau terlalu kaku. Puisi tidak berbeda dengan bentuk-bentuk sastra lain yang menyampaikan pesan dengan bantuan kata-kata. Kata-kata itu memang kadang-kadang mengandung berbagai arti dan disusun dengan pola ketatabahasaan yang khusus agar lebih indah, padat, dan bermakna dalam. Dalam mengajak para siswa untuk memahami dan menikmati puisi hendaknya guru tidak terlalu tergesa-gesa membebani para siswa dengan istilah-istilah teknis seperti gaya bahasa metafora, hiperbola, personifikasi. Istilah-istilah ini hanya akan dihafalkan dan akan melelahkan ingatan.
Pembelajaran puisi bertujuan membina apresiasi puisi dan mengembangkan kearifan menangkap isyarat-isyarat kehidupan. Untuk dapat menghargai secara wajar pengalaman-pengalaman yang tertuang dalam sebuah puisi, kita harus mendekati dan menggaulinya secara intensif. Tujuan pengajaran puisi adalah memperoleh pengalaman mengapresiasi puisi, pengalaman berekspresi dengan puisi, dan memeroleh pengetahuan dan sikap yang baik terhadap puisi. Dalam perinciannya tentu saja tujuan itu disesuaikan dengan siswa yang akan belajar puisi. Dengan demikian tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran apresiasi puisi ialah:
a)        Peserta didik hendaknya memeroleh kesadaran yang lebih baik terhadap diri sendiri, orang lain, dan kehidupan sekitarnya sehingga mereka bersikap terbuka, rendah hati, peka perasaan dan pikiran kritisnya terhadap tingkah laku pribadi, orang lain, serta masalah-masalah kehidupan sekitarnya.
b)        Peserta didik hendaknya memeroleh kesenangan dari membaca dan mempelajari puisi hingga tumbuh keinginan membaca dan mempelajari puisi pada waktu senggangnya.
c)        Peserta didik hendaknya memeroleh pengetahuan dan pengertian dasar tentang puisi hingga tumbuh keinginan memadukannya dengan pengalaman pribadinya yang diperoleh di sekolah kini dan mendatang.

Pada hakikatnya tujuan pembelajaran puisi adalah menanamkan rasa peka terhadap karya sastra, sehingga tumbuh rasa bangga, senang, atau haru. Untuk mencapai tujuan tersebut, pembelajaran sastra khusus puisi berusaha mengakrabkan peserta didik diberbagai tingkat pendidikan dengan konvensi-konvensi puisi modern, harus mengembangkan kepekaannya terhadap konvensi itu, sehingga peserta didik mengenal unsur-unsur dasar yang luas tersebar dalam puisi modern. Konvensi yasng dimaksud menyangkut latar belakang lingkungan masyarakat pemakai bahasa dan budaya tertentu, dan keakraban dibidang ini akan menumbuhkan sikap yang apresiatif.
Sesuai dengan tujuan pengajaran puisi yang telah di ungkapkan di atas yaitu memperoleh pengalaman mengapresiasi puisi, pengalaman berekspresi dengan puisi, dan memeroleh pengetahuan dan sikap yang baik terhadap puisi. Menurut Rusyana (dalam Alfiah, 2009: 84), langkah-langkah pembelajaran yang dapat dilakukan saat mengajarkan puisi yaitu:
1)      Mempelajari puisi yang akan dibawakan
Guru hendaknya terlebih dahulu mempelajari puisi yang akan dibawakan atau diajarkan. Dengan mempelajari puisi yang akan dibawakan guru akan mempunyai pegangan. Ia memeriksa bagian-bagian mana yang memerlukan keterangan dan bagian mana yang tidak. Ia akan dapat menentukan aspek manakah dari puisi yang memerlukan perhatian khusus. Salah satu hal yang sangat penting adalah menemukan pendekatan dalam puisi, yaitu apakah penyair dalam puisinya menunjukkan kata-kata kepada seseorang, ataukah kepada kemanusiaan pada umumnya, apakah puisi menyajikan suatu percakapan dengan orang lain atau suatu monolog dengan diri sendiri.
2)      Menentukan kegiatan yang akan dilakukan
Setelah guru mengenali puisi yang akan dibawakan, ia menentukan kegiatan apa yang akan dilakukannya di dalam kelas. Guru bisa berpendapat beberapa puisi akan langsung saja dibaca oleh guru dan siswa, tanpa memberikan keterangan apa-apa. Ada pula puisi yang dianggapnya memerlukan pengantar sebelum dibawakan. Demikianlah guru menentukan kegiatan yang akan dilakukan di kelas seperti: guru membacakan puisi dan siswa mendengarkan, siswa membaca nyaring sendiri atau dalam paduan membaca puisi, siswa bertukar pengalaman tentang puisi yang mereka baca, siswa dan guru berdiskusi dll. Kegiatan mengenal puisi dan menentukan apa yang akan dilakukan adalah kegiatan guru sebelum masuk kelas. Kegiatan selanjutnya adalah kegiatan guru dan siswa di dalam kelas.
3)      Memberikan pengantar pengajaran
Sebelum masuk ke dalam kegiatan pengajaran puisi, guru memberikan pengantar yang maksudnya menarik perhatian siswa pada pokok yang akan dipelajari. Caranya bermacam-macam, bergantung pada pengalaman guru tentang puisi yang akan dibawakan. Pengantar ini hendaknya benar-benar mengantarkan siswa ke dalam suasana yang diharapkan terjadi pada kegiatan pengajaran selanjutnya.
4)      Menyajikan bahan pengajaran
Dalam menyajikan bahan pengajaran terlebih dahulu guru hendaknya menciptakan suasana belajar-mengajar yang menyenangkan. Puisi harus menjadi sumber kenikmatan bagi siswa. Oleh karena itu penyajiannya pun harus menyenangkan. Puisi itu pada dasarnya untuk didengarkan, oleh karena itu siswa hendaknya berkenalan dengan puisi secara lisan. Dalam penyampaian secara lisanlah bunyi, irama dan tekanan dapat ditangkap dan diapresiasi oleh siswa. Oleh karena itu, guru harus mampu membacakan puisi dengan baik untuk keperluan menyampaikan puisi kepada siswanya. Akan tetapi guru harus berusaha agar siswa tidak menjiplak bacaannya itu. Oleh karena itu, siswa hendaknya dirangsang untuk membaca nyaring sesuai dengan caranya sendiri.

5)      Mendiskusikan puisi yang telah dibaca
Diskusi dilakukan untuk lebih mendalami puisi yang telah dibaca, dalam diskusi tentang puisi yang telah dibacakan ditanyakan misalnya: Siapakah yang bicara dalam puisi itu? Kepada siapa pembicaraan ditujukan? Bagaimana gambaran keadaannya? Apa yang telah ia perbuat? Apa yang dipikirkannya? Apa yang ingin diperbuatnya? Apa ia merasa bahagia, ketakutan atau kesepian? Dengan melakukan diskusi terhadap puisi, siswa akan lebih mengetahui dan memahami tentang puisi yang telah mereka baca.
6)      Memperdalam pengalaman
Guru berusaha agar siswa memperdalam pengalaman mereka tentang puisi yaitu memberi kesempatan kepada siswa untuk membaca puisi dengan nyaring, agar mereka dapat lebih merasakannya. Akan tetapi, siswa harus terlebih dahulu mempersiapkannya dan melakukan latihan membaca puisi. Kegiatan membaca puisi dapat dirangsang dengan berbagai cara misalnya: mengadakan acara pembacaan puisi dan pemberian penghargaan kepada pembacaan yang menunjukkan penafsiran dan penghayatan yang sesuai dengan isi puisi yang dibacakan.
Pandangan lain dikemukakan oleh Ismawati (2013: 68), model yang tepat dalam apresiasi puisi yaitu dengan melakukan kegiatan yang nyata melalui demonstrasi atau pemodelan. Hal ini dapat memberikan perspektif dan pemahaman yang sama setiap peserta didik.
1)      Berikan puisi yang isi atau temanya sesuai dengan mental age peserta didik
2)      Ajaklah peserta didik menikmati secara langsung yaitu dengan memahami puisi
3)      Setting-lah suasana kelas yang santai dan penuh kesyahduan dengan irama musik instrumental
4)      Gunakan model yang dianggap mahir atau mampu dalam membaca puisi
5)      Berikan waktu pada peserta didik untuk mengomentari atau menanggapi pembacaan puisi












BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan puisi adalah ungkapan hati penyair dari keseluruhan pengalaman hidup yang menggunakan bahasa yang khas dalam penyajiannya. Puisi lahir dari perenungan mendalam dengan menggunakan kolaborasi antara pikiran dan perasaan sehingga menghasilkan karya yang sarat makna.
Unsur pembentuk dalam puisi terbagi menjadi dua unsur yaitu unsur fisik dan unsur batin puisi. Unsur fisik puisi terdiri dari; diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif atau majas, versifikasi dan tata wajah atau tipografi sedangkan unsur batin puisi terdari dari; tema, perasaan, nada dan suasana, amanat.
Terdapat beberapa cara untuk mendalami dan memaknai sebuah puisi, Roland Barthes mengungkapkan lima kode bahasa yaitu; kode hermeneutik, proairetik, semantik, simbolik dan budaya sedangkan menurut Riffaterre terdapat tiga cara untuk mendalami puisi yaitu; mengetahui penggantian arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti dari puisi.
Pada dasarnya pembelajaran sastra atau puisi haruslah dengan model, metode dan teknik yang nyata yaitu dengan melibatkan peserta didik secara langsung dalam memahami dan mengkaji puisi, dengan begitu siswa dapat menemukan arti atau amanat dari puisi yang dipelajari.
B.     Saran
Penulis menyarankan agar pembaca lebih memperbanyak lagi referensi-referensi mengenai teori dan pengajaran puisi selain makalah ini. Ini dikarenakan oleh keterbatasan penulis dalam mencari referensi-referensi dalam penyusunan makalah ini.

















DAFTAR PUSTAKA

Alfiah. 2009. Pengajaran Puisi Sebuah Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

Damono, Sapardi Djoko. 2000. Priyayi Abangan. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Dola, Abdullah. 2007. Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

Ismawati, Esti. 2013. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Ombak.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugihastuti. 2009. Rona Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.