BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Antropologi Sastra
Antropologi
sastra terdiri atas dua kata yaitu antropologi dan sastra. Menurut Ratna (2011:
6), antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya
terkandung unsur-unsur antropologi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra
menduduki posisi dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi sebagai pelengkap.
Oleh karena disiplin antropologi sangat luas, maka kaitannya dengan sastra
dibatasi pada unsure budaya yang ada dalam karya sastra. Hal ini sesuai dengan
hakikat sastra itu sendiri yaitu sastra sebagai hasil aktivitas kultural.
Pendapat lain dikemukakan oleh Koentjaraningrat, antropologi sastra adalah
analisi dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan.
Pentingnya
analisis unsur kebudayaan dalam karya sastra dikemukakan oleh Sudikan,
antropologi sastra mutlak diperlukan dikarenakan, pertama sebagai perbandingan terhadap psikologi sastra dan
sosiologi sastra. Kedua, antropologi
sastra diperlukan dengan pertimbangan kekayaan kebudayaan seperti diwariskan
oleh nenek moyang.
Analisis
antropologi sastra adalah usaha untuk mencoba memberikan identitas terhadap
karya sastra dengan menganggapnya sebagai mengandung aspek tertentu yaitu
hubungan ciri-ciri kebudayaannya. Cara yang dimaksudkan tentunya mengacu pada
defenisi antropologi sastra. Ciri-cirinya seperti; memiliki kecenderungan
kemasa lampau, citra primordial, citra arketipe. Ciri-ciri lain, misalnya;
mengandung aspek-aspek kearifan lokal dengan fungsi dan kedudukannya
masing-masing, berbicara mengenai suku-suku bangsa dengan subkategorinya,
seperti; trah, klen dan kasta. Bentuk kecenderungan yang dimaksudkan juga
muncul sebagai peguyuban tertentu, seperti; masyarakat pecinaan, pesantren.
Daerah-daerah tertentu; kampung Bali, Minangkabau, Jawa, Mandar, Bugis, Papua.
Kelompok-kelompok tertentu; priayi, santri, abangan, atau bangsawan.
B. Psikologi
Sastra, Sosiologi Sastra dan Antropologi Sastra
Hal
terpenting dalam menentukan atau mengategorikan sebuah karya sastra, apakah
termasuk dalam sosiologi sastra, psikologi sastra ataupun antropologi sastra
yaitu dengan ciri-ciri yang lebih kuat yang muncul dalam pembahasan isi karya
sastra itu sendiri. Secara definitif apabila sebuah karya lebih banyak
mengungkapkan berbagai peristiwa, maka karya tersebut dapat dikategorikan
berciri sosiologi sastra. Karya yang banyak mengemukakan masalah konflik batin
tokoh-tokohnya, dapat dikategorikan bercirikan psikologi sastra. Sedangkan
apabila suatu karya didominasi oleh masalah-masalah kebudayaan, khususnya
kerinduan ke masa lampau termasuk sebagai memiliki ciri-ciri antropologi
sastra.
Sebagai interdisiplin, dalam rangka
menopang eksistensi karya sastra, psikologi sastra, sosiologi sastra dan
antropologi sastra dianggap telah mewakili keseluruhan aspek ekstrinsiknya.
Seperti di atas, psikologi sastra menganalisisnya dari segi kejiwaan, sosiologi
sastra menganalisis dari segi masyarakatnya, sedangkan antropologi sastra dari
segi kebudayaan. Perbedaaan dilakukan semata-mata sebagai salah satu cara untuk
menentukan bahwa suatu objek didominasi oleh salah satu ciri sehingga pantas
dianalisis dari pendekatan tersebut. Psiokologi sastra, misalnya, baik
dilakukan pada karya yang banyak mengandung konflik batin. Sosiologi sastra
terhadap karya sastra yang banyak bercerita mengenai berbagai peristiwa dalam
masyarakat. Sedangkan antropologi sastra pada karya yang mengandung tema,
pesan, pandangan dunia, dan nilai-nilai kehidupan manusia, kebudayaan pada
umumnya, khususnya yang berkaitan dengan mas lampau. Perbedaan yang dimaksudkan
jelas tampak melalui objek formal masing-masing, seperti berikut.
Diagram 1. Perbedaan Objek Formal antara Psikologi
Sastra, Sosiologi Sastra dan Antropologi Sasta
Pendapat lain dikemukakan oleh Sahril
Anwar (2013), dalam mengategorikan sebuah karya sastra ciri-ciri dominan yang
muncul dalam karya sastra itulah yang nantinya menjadi dasar dalam
menganalisis. Sosiologi sastra dengan sendirinya berkaitan dengan masyarakat,
intensitas rangkaian peristiwa dan kejadian, psikologi sastra berhubungan
dengan unsur-unsur kejiwaan dalam hubungan ini tokoh dan penokohan, sedangkan
antropologi sastra berkaitan dengan tradisi, adat istiadat, mitos, dan
peristiwa kebudayaan pada umumnya, yang biasanya berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa masa lampau.
C.
Fungsi Pendekatan Antropologi Sastra
Sebagai sebuah pendekatan baru dalam dunia sastra, maka
antropologi sastra memiliki tugas yang sangat penting untuk mengungkapkan
aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan masyarakat tertentu. Karya sastra,
dalam bentuk apapun, termasuk karya-karya yang dikategorikan sebagai bersifat
realis tidak pernah secara eksplisit mengemukakan muatan-muatan yang akan
ditampilkan, ciri-ciri antropologi yang terkandung di dalamnya. Semata-mata
kemampuan penelitilah yang dapat menunjukkan suatu karya sastra sebagai
mengandungbdan dengan demikian didominasi oleh aspek tertentu; tema, pesan atau
pandangan dunia menurut pemahaman lain.
Sebagai sebuah pendekatan, maka yang dinilai adalah
unsur-unsur itu juga bagaimana pengarang menceritakan, menarasikan, sehingga
kerinduan terhadap kebudayaan maupun adat-adat tertentu dapat terwujud dengan
baik. Oleh karena itu, ada pendapat bahwa dalam beberapa hal analisis memiliki
persamaan dengan karya sastra, seperti kualitas kreatifitas, rekonstruksi
imajinatif, alur penalaran, dan dengan sendirinya penggunaan bahasa. Analisis
selanjutnya, kecenderungan terhadap beberapa ciri antropologi
dengan mengungkapkan dimensi-dimensi yang ditampilkan, seperti kehidupan orang
Jawa, Sunda, Mandar, Bugis, Bali Minangkabau dan sebagainya.
Bagian
terakhir yang menjadi perhatian adalah penjelasan ciri-ciri tersembunyi
berbagai gejala yang diungkapkan dalam karya. Bagian terakhir ini merupakan
bagaian tersulit sebab penelitian harus ditopang oleh sejumlah ilmu bantu yang
relevan. Seperti halnya karya sastra merupakan ‘dunia dalam kata’, dunia
miniatur dengan unsur-unsur penyajian yang terbatas, sehingga banyak ruang
kosong yang harus diisi dan dijelaskan. Dalam sebuah novel misalnya,
diceritakan bahwa orang Bali tidak suka merantau, berbeda dengan orang
Minangkabau atau orang Bugis, maka tugas peneliti adalah menjelaskan perbedaan
tersebut secara objektif ilmiah sehingga menjadi masuk akal. Hakikat karya
sastra adalah kreatif imajinatif sedangkan hakikat karya ilmiah adalah objektif
verifikatif. Begitu pula dengan
ciri-ciri yang tampak jelas pada sebuah karya sastra, seperti; ngaben (pembakaran mayat dalam agama
Hindu Bali), khitan (pemotongan kulup
dalam agama Islam), katoba dan kankilo (khitan di Sulawesi Tenggara), sekaten
(upacara ritual dalam kesultanan Yogyakarta).
Menurut
Ratna (2011: 68) antropologi sastra berfungsi untuk; 1) melengkapi analisis
ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi sastra, 2) mengantisipasi
dan mewadahi kecenderungan-kecenderungan baru hasil karya sastra yang di
dalamnya banyak dikemukakan masalah-masalah kearifan local, 3) diperlukan dalam
kaitannya dengan keberadaan bangsa Indonesia, di dalamnya terkandung beraneka
ragam adat kebiasaan seperti; mantra, pepatah, motto, pantun, yang sebagian
besar juga dikemukakan secara estetis dalm bentuk sastra, 4) wadah yang sangat
tepat bagi tradisi dan sastra lisan yang selama ini menjadi wilayah perbatasan
disiplin antropologi sastra, 5) mengantisipasi kecenderungan kontemporer yaitu
perkembangan multidisiplin baru.
Hal
yang harus dipahami dalam menggabungan antropologi dan sastra yaitu dasar kedua
disiplin ini, hakikat dari antropologi adalah fakta empiris sedangkan sastra
adalah kreatifitas imajinatif. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat
digunakan sebagai tolok ukur suatu peristiwa tertentu. Karya sastra hanyalah
refleksi, cermin, representasi menurut pemahaman teori sastra. Hal ini juga
yang menjadi dasar karya sastra tidak dapat diadili atau dilarang penerbitannya
misalnya, dengan tuduhan sebagai mewakili ideologi tertentu seperti karya-karya
Pramoedya Ananta Toer, tokoh-tokoh seperti Bima dan Arjuna, Jayaprana dan
Layonsari, Sitti Nurbaya dan Datuk Maringgih, Dracula, Nyi Rara Kidul. Tokoh-tokoh ini haruslah dipandang sebagai
hanya perwakilan sifat-sifat manusia tertentu dalam masyarakat.
D.
Beberapa
Karya Sastra
Beberapa karya sastra yang bercirikan dalam antopologi
sastra seperti; Sitti Nurbaya yang
menampilkan masalah pokok mengenai adat istiadat, terpaksa
kawin dalam kaitannya dengan adat
minangkabau, Salah Asuhan mengenai
kawin campuran antara bangsa Barat dengan pribumi, Layar Terkembang mengenai emansipasi
perempuan, Bumi Manusia dalam
kaitannya dengan residu kolonialisme, Lontara
Rindu mengenai perbedaan kepercayaan dan beberapa kepercayaan orang Bugis, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang menceritakan tentang adat
istiadat orang Minangkabau dalam pernikahan.
E.
Analisis
Antropologi Sastra
Analisis
ekstrinsik jelas dilakukan melalui petunjuk, indikator, ciri-ciri yang
terkandung di dalam objek penelitian seperti antropologi sastra yang banyak
mengandung unsur-unsur kebudayaan dalam karya sastra. Seperti Layar Terkembang dan Belenggu, di dalamnya masing-masing pengarang dengan sengaja
menampilkan modernisasi dan pada gilirannya juga didukung oleh sejumlah
kritikus, tetapi ternyata sarat dengan masalah-masalah lampau, sebagai citra
primordial (kerinduan ke masa lampau, sebagai ketaksadaran kolektif).
Dalam
menganalisis unsur kebudayaan dalam sastra, Koentjaraningrat (1992) membatasi
unsur kebudayaan menjadi tujuh bagian yaitu: pertama, peralatan kehidupan manusia seperti; rumah, pakaian,
alat-alat rumah tangga, dan berbagai peralatan yang dikaitkan dengan kebutuhan
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Kedua,
mata pencaharian seperti; pertanian, peternakan, perikanan dengan sistem
ekonomi dan produksinya masing-masing. Ketiga,
kesenian dengan berbagai jenisnya seperti; seni rupa, seni suara, seni gerak. Keempat, sistem religi berbagai bentuk
pengalaman manusia dalam kaitannya dengan subjektivitas, keyakinan, dan
berbagai kepercayaan.
1.
Peralatan
Kehidupan Manusia
Secara
objektif antropologis perkembangan peralatan manusia demikian juga perkiraan
awal terjadinya jelas berbeda. Rumah sebagai tempat berlindung dari sinar
matahari, dan hujan yang diakibatkan dari gejala alam itulah dibuat rumah atau
pakaian, diikuti dengan peralatan lain yang dianggap perlu. Sesudah melewali
proses yang sangat panjang akhirnya manusia tiba pada zaman kontemporer, zaman
komputer, zaman ruang angkasa. Manusia menciptakan berbagai alat bantu seperti
robot dan alat-alat bedah dalam dunia kedokteran, sehingga memunginkan untuk
operasi plastik. Pemusnahan etnis seperti dilakukan terhadap orang Yahudi pada
perang dunia II dan etnis lain di Afrika.
Dalam
karya sastra masalah-masalah peralatan kehidupan manusia tidak dilukiskan
secara kronologis, melainkan struktur pencitraannya. Ceritalah yang menjadi
masalah utama, di dalamnya berbagai bentuk peralatan menjadi pelengkap.
Semata-mata penelitilah yang merakitnya, menjelaskan sehingga menjadi masuk
akal sebagai analisis antropologis.
Orang
Bali tidak mengenal sampiran pantun //berakit-rakit ke hulu, berenang-renang
ketepian//, sebab di Bali tidak ada sungai yang cukup lebar untuk
mengoperasikan rakit. Dengan memperhatikan sejumpah cerita, senjata yang
digunakan oleh tokoh berbeda-beda sesuai dengan tokoh yang diacunya. Menjadi
rancu jika dalam cerita Jayaprana Layonsari adalah ‘samurai’,
‘celurit’, ‘bedil’ ‘badik’. Chairil Anwar dalam karyanya menggunakan berbagai
senjata, ‘pedang dan keris’ dalam puisi “Diponegoro”, ‘peluru’ dalam puisi
“Aku”. Dalam “Cintaku Jauh Di Pulau” menggunakan istilah ‘perahu’. Dengan
singkat, peralatan persenjataan, baik tradisional maupun modern dominan dalam
karya sastra.
Karya
yang baik menunjukkan dengan jelas penggunaan peralatan, sehingga sesuai dengan
situasi dan kondisi, latar secara keseluruhan. Dalam Belenggu baru ditemukan telepon dan dengan sendirinya belum ada handphone, media elektronik yang popular
yaitu radio sehingga dengan sendirinya belum ada televisi. Putu Wijaya (1977),
menggunakan istilah Telegram pada
judul bukunya. Pakaian tokoh perempuan dalam Layar Terkembang berupa kain sutera, Jusuf menggunakan kendaraan
sepeda untuk kulih. Tokoh Sitti Nurbaya (Marah Rusli) menggunakan pedati. Tamin
dalam Pulang (Mochtar) menggunakan
bajak dan sapi untuk mengerjakan sawah. Banyaknya peralatan justru mengarahkan
karya sastra menjadi sejarah tertentu.
2.
Mata
Pencaharian
Dalam
seluruh kehidupan manusia mata pencaharin merupakan penunjuk terhadap peradaban
tertentu atau masa periode tertentu. Pertanian dan perburuan dianggap sebagai
mata pencaharian pertama yang dikenal oleh manusia, Kemudian pada zaman modern
ditopang oleh perkembangan teknologi dan lahirnya industri. Birokrasi
melahirkan pegawai negeri, terjadi jual beli intelektualitas dan kemampuan
pikiran.
Dalam
Layar Terkembang, Tokoh Ratna
berhenti sebagai pegawai negeri memilih menjadi seorang petani, tokoh
Tamin dalam Pulang setelah lama merantau Kemudian kembali menjadi petani. Dalam
masyarakat Bali, mata pencaharian dengan cara mendirikan warung dan berbagai
bentuk berjualan di pinggir jalan. Warung yang dimaksudkan mungkin berbentuk
secara relatif permanen tetapi ada juga yang sederhana. Dalam Sukreni Gadis Bali karya Panji Trisna
yang melukiskan warung Men Negara.
Dalam
periodisasi dan mata pencaharian tertentu dapat menunjukkan kebiasaan
masyarakat. Seperti orang Sinderang Rappang dalam Lontara Rindu yang
menunjukkan kebiasaan masyarakat bugis yang tinggal di pegunungan Pakka
Salo yang mayoritas bekerja menjadi petani jambu mente. Antropologi sastra
jelas berkaitan dengan masalah kebudayaan seperti, mitos, dan berbagai bentuk
kearifan lokal, tetapi bentuk-bentuk yang dimaksudkan dibicarakan dalam
kaitannya dengan kondisi masyarakat tertentu.
3.
Kesenian
dengan Berbagai Jenisnya
Berbagai
kesenian yang timbul di masyarakat adalah manifestasi dari estetika yang ada
dalam diri mereka. Kesenian dalam berbagai jenisnya juga menunjukkan kebiasaan
dari masyarakat tertentu, misalnya; orang Bali yang mayoritas beragama Hindu
yang menggunakan seni tari, seni musik, seni suara maupun patung-patung
tertentu sebagai pemujaan. Begitupun dengan orang Jawa yang menggunakan gong,
gamelan, seruling yang digunakan untuk beberapa acara penting yang
diselanggaran.
Karya Oka Rusmini (2000), Tarian Bumi secara keseluruhan bercerita
mengenai kehidupan tokoh sebagai penari. Kenyataan ini jelas berkaitan erat
dengan latar belakang novel yaitu Bali yang memang merupakan ‘pulau seni’ khususnya
tarian. begitupun dengan Nur Sutan Iskandar (1946) dan Andjar Asmara (1949)
melalui Jangir Bali dan Nusa Penida yang mencoba mengangkat
tentang tari jangir (jangger).
Dalam Trilogi Dukuh Paruk (Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini
Hari, dan Jentera Bianglala) karya Ahmad Tohari, menceritakan kehidupan tokoh
utama Srintil sebagai penari ronggeng. Dalam mitologi Jawa, ronggeng adalah
seni sekaligus mitos pelacuran. Trilogi novel ini menceritakan tradisi
seseorang bukan hanya mejadi penari tetapi juga melayani nafsu seksual
laki-laki, sebelum menjadi ronggeng yang sesungguhnya seseorang harus melalui
sejumlah upacara ritual dan diakiri dengan upacara terakhir yaitu bukak-kalmbu.
4.
Sistem Religi
Istilah
religi diturunkan dari akar religio
berkaitan dengan kepercayaan, keyakinan. Pengertian religi dianggap lebih luas
dibandingkan dengan agama. Religi meliputi seluruh sistem kepercayaan, pada
umumnya berlaku dalam kelompok-kelompok terbatas sedangkan agama mengacu hanya
pada agama formal atau mendapat pengakuan secara hukum.
Menyadari
adanya keberagaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia, Rampan
(1976) dalam novel Upacara mengangkat
upacara ruwatan yang terjadi di kalangan suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Upacara menyajikan berbagai bentuk
upacara, situasi magis dengan istilah-istilah lokal seperti; lumut (surga), balian (dukun) dan pelulung
(upacara perkawinan). Karya Achdiat K. Miharja yang berjudul Ateis yang mengangkat dan mempertanyakan
keberadaan Tuhan. Dalam Lontara Rindu
karya Mappangewa menunjukkan kepercayaan masyarakat Sidenreng Rappang yaitu Tolotang dengan mempercayai Lontara
sebagi kitab suci dan acara ritual ke makan I Pabbere’ setiap akhir Januari disetiap
tahunnya yang ditentukan oleh para Uwa
(petuah adat Tolotang).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya
terkandung unsur-unsur antropologi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra
menduduki posisi dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi sebagai pelengkap.
2. Hal terpenting dalam menentukan atau mengategorikan
sebuah karya sastra, apakah termasuk dalam sosiologi sastra, psikologi sastra
ataupun antropologi sastra yaitu dengan ciri-ciri yang lebih kuat yang muncul
dalam pembahasan isi karya sastra itu sendiri.
3. Sebagai sebuah pendekatan baru dalam dunia sastra, maka
antropologi sastra memiliki tugas yang sangat penting untuk mengungkapkan
aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan masyarakat tertentu. Karya sastra,
dalam bentuk apapun, termasuk karya-karya yang dikategorikan sebagai bersifat
realis tidak pernah secara eksplisit mengemukakan muatan-muatan yang akan
ditampilkan, ciri-ciri antropologi yang terkandung di dalamnya
B. Saran
1.
Penulis
menyarankan agar pembaca lebih memperbanyak lagi referensi-referensi mengenai antropologi
sastra selain makalah ini. Hal
ini dikarenakan oleh
keterbatasan penulis dalam mencari referensi-referensi dalam penyusunan makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ratna Nyoman Kutha. 2011. Antropologi
Sastra: Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar.
Anwar Sahril. 2013. Analisis Antropologi Sastra, (Online), http://sahrilanwar.wordpress.com/makalah-2/,
diakses 28 Oktober 2014.
Ajeng. 2014. Kajian Antropologi Sastra, (Online), http://ajengbgt.blogspot.com/2012/04/apresisasi-sastra-kajian-antropologi.html,
diakses 29 Oktober 2014.